Feeds RSS

Minggu, 04 April 2010

Tugas Bhs. Indonesia ( Resensi )

RESENSI

Judul buku : Jalan Tak Ada Ujung
Pengarang : Mochtar Lubis
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta 1952
Tebal Buku : 140 halaman


Buku Jalan Tak Ada Ujung karangan Mochtar Lubis ini, dapat dinamakan roman dan tidak salah kalau disebut juga novel. Dinamakan roman, karena tidak ada kesatuan tema dan tidak ada kepaduan pengupasan. Disebut novel, karena hanya menceritakan sebagian saja dari apa yang dialami pelaku sebagaimana yang biasa terdapat pada novel.
Kejadian yang diceritakan dalam buku ini berlangsung di Jakarta, kurang lebih sekitar tahun 1946 sampai 1957. Waktu itu, Indonesia terus-terusan dirundung kekacauan. Jepang menyerahkan Indonesia kepada sekutu, dan dalam tubuh sekutu terbonceng Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, tentu mengalami kekacauan lebih istimewa.
Dalam situasi yang serba kacau ini, seorang guru bernama Guru Isa senantiasa mengalami ketakutan. Untuk menyembunyikan rasa takutnya itu, Guru Isa melakukan perbuatan-perbuatan yang dinilai orang sebagai perbuatan berani dan bersifat pahlawan.
Hazil, sahabat Guru Isa, tampak sebagai seorang pemberani dan ikut membantu perjuangan. Hazil berjuang demi cita-cita pribadi. Guru Isa berjuang karena ketakutannya, namun batinnya sangat menolak. Guru Isa takut dituduh tidak cinta tanah air dan takut dituduh mata-mata musuh.
Ketika Guru Isa dan Hazil tertangkap, mereka mendapat siksaan. Hazil yang selama ini dikagumi Guru Isa begitu mudah menyerah. Beberapa kali tamparan saja membuat Hazil mengakui perbuatannya dan mengkhianati teman seperjuangannya. Lain halnya dengan Guru Isa, yang selama ini berbuat karena ketakutannya, ternyata bertahan dan tidak mengaku. Malah ketika akan disiksa lagi, rasa takutnya menjadi hilang. Rupanya kekejaman yang luar biasa dari pihak musuh bukan membuatnya jadi lumpuh, malah sebaliknya, jiwanya bangkit, rasa beraninya berkobar. Dengan hilangnya rasa takut itu, sembuh pula penyakitnya, yaitu birahi kelaki-lakiannya pun bangkit. Betapa bahagia Guru Isa sebab ketika rasa takutnya selalu menghantuinya, birahi laki-lakinya lumpuh.
Jika dikaitkan dengan judul buku ini, ucapan Hazil di akhir cerita tampaknya merupakan tema kuat dari buku ini. ”Bagiku hidup adalah tujuan, dan bukan alat untuk mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perhubungan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanyalah alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidup. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan kehidupan manusia-manusia”.
Pengarang, melalui buku ini, hendak menelanjangi Hazil, lambang kebanyakan pejuang pada waktu itu berjuang demi cita-cita pribadi. Sekali dua kali tampar, langsung menyerah. Tujuan perjuangannya adalah hidupnya sendiri, kebahagian sendiri, dan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, Guru Isa yang berjuang karena rasa takutnya itu, tampil menjadi seorang pahlawan.
Mungkin orang menilai perubahan jiwa Guru Isa yang menjadi pemberani, sesuatu yang dibuat-buat dan membuat nilai cerita ini rendah. Akan tetapi, jika dikaji dari sudut psikoloagis, perubahan tersebut adalah hal yang wajar dan dapat diterima akal.
Gaya bahasa Mochtar Lubis dalam buku ini sama seperti gaya sastrawan angkatan 45 pada umumnya. Di sana-sini tampak perbandingan baru dan orisinil. Bukan gaya bahasa klise. Jalan cerita cukup lancar. Apalagi karena dibumbui dengan seks, novel ini mempunyai daya tarik tersendiri. Peristiwa demi peristiwa mengalir menurut menuruti waktu.

Sumber : Kasanah Umi, S.Pd., Bahasa dan Satra Indonesia, penerbit Graha Pustaka, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar