Feeds RSS

Minggu, 04 April 2010

Tugas Bhs. Indonesia ( Sinopsis Novel )

Sinopsis Novel Salah Asuhan

Istri Pemberian Ibunya

Di rumah Hanafi, di Solok, sunyi senyap keadaanya. Siang malam pintu di muka tidak dibuka, sedang lampu di beranda muka pun tidaklah pernah menyala. Dari jalan raya kelihatan rumah itu sebagai rumah tinggal, seolah-olah bukan Hanafi saja yang keluar, melainkan seisi rumahlah rupanya yang pergi tamasya. Hanya kereta kecil berisi Syafei yang ditolak oleh si Buyung setiap pagi dan petang di tepi jalan menandakan, bahwa kaum keluarga Hanafi masih ada di Solok.
Rapiah dan mertuanya tidak pernah keluar rumah. Sekalian orang yang datang bertandang sudah mengetahui, bahwa mereka tak usah lagi mengetuk pintu atau berseru-seru di beranda muka, melainkan bolehlah terus ke belakang saja buat menemui orang rumah.
Seorang pun diantara segala sahabat Hanafi tak datang ke rumahnya, karena selama ini yang dicari oleh mereka hanyalah Hanafi saja, sedang ahli rumahnya yang lain hanyalah berguna buat menyediakan hidangan belaka.
Kedua perempuan itu, mertua dan menantu, sedang asyik bekerja di dapur. Syafei tidur nyenyak dalam buaian di beranda belakang, diayun-ayunkan oleh si Buyung.
”Sebanyak itu Ibu menggulai, serupa ada tamu yang dinanti makan.” kata Rapiah dengan tersenyum.
”Buat orang berpuasa, masih sedikit hidangan sebegini, Rapiah! Lihatlah yang baru siap: Anjang lauk sapi,krabu bunga kelikih, boboto cara padang, sedang yang hendak ibu siapkan tinggal lagi besengek dan kari Menggala.
”Ibu sendiri hanya gemar pada daun-daun saja, tapi ibu menyediakan daging sekian banyaknya. Siapakah yang hendak memakannya?”
”Sebab engkau berpuasa, Rapiah. Tidak puas hati ibu, jika makananmu kurang sepertinya. Meskipun akan kau makan atau tidak, asal makanan cukup sedia, hati ibu pun senang.”
”Sudah kedelapan kali Kamis ini aku berpuasa sunat, Ibu, dan selama itu pula ayah Syafei meninggalkan kita. Selama ia masih di dalam perjalanan, tak akan rumpangnya aku berpuasa sunat setiap hari Senin dan Kamis.”
”Berpuasa sunat itu besar manfaatnya, Rapiah. Tapi sementara itu wajib benar bagimu memelihara kewarasan tubuhmu. Jangan rupamu secara ini, tinggal kulit pembalut tulang saja.”
”Benar sekali badanku menjadi kurus, Ibu. Tapi bukanlah kurus itu disebabkan oleh berpuasa. Meskipun kurus, tetapi perasaanku kesehatan tubuh tiadalah menggangu.”
”Sebab engkau tidak suka merasakan, jadi pada sangkamu tiadalah kesehatan tubuhmu terganggu, Rapiah! Tetapi janganlah engkau lupa, bahwa kesehatanmu itu bukanlah berguna buat tubuhmu sendiri melainkan haruslah kau bagi dua dengan Syafei. Lihatlah pula keadaan anakmu, sudah kuning pucat warna kulitnya.”
Sudah beberapa hari kupikirkan hendak kuceraikan dia menyusu, Bu! Anak-anak orang lain sudah lama diceraikan, bila sudah berumur satu tahun. Tapi Syafei masih menyusu saja. Hendak kuceraikan menyusui, sungguh tak sampai hatiku, Bu. Ajaib, tangisnya makin lama makin sedih.”
”Sebab tubuhnya kurang waras.”
”Bukan karena itu saja, Bu. Acap kali kutilik perangainya tengah-tengah malam. Dengan tidak sadar, melainkan di dalam tidur nyenyak, biasa benar ia tersedu-sedu, sambil mencucurkan air matanya. Dengan seketika itu pula ia berhenti menghisak, air matanya keringlah, lalu tidur pulalah ia dengan nyenyak.”
”Biasa jua kanak-kanak berlaku demikian di dalam tidurnya, Rapiah.”
”Boleh jadi kebiasaan kanak-kanak serupa itu. Tetapi hatiku cemas-cemas saja. Rupanya atas diri ayah Syafei sudah timbul bencana, Bu. Hampir setiap malam aku bermimpi yang buruk-buruk saja. Jangan-jangan ayah Syafei.....”
”Mimpi asalnya dari kenangan, Piah! Setiap hari engkau mengenangkan Hanafi saja, sampai tubuhmu menjadi kurus, sedang anakmu pun turut pula menanggungkannya. Sesungguhnya hidupmu lebih aman jika Hanafi tidak di rumah.”
Rapiah tidak menyahut. Hanya darahnya menyesak naik ke kepala, hingga daun-daun telinga dan kedua belah pipinya berwarna merah. Maka air kelapa yang diperahkannya dari tapisan ke dalam sebuah belanga, dengan tidak sengaja sudah dicucurkannya ke dalam sebuah pasu bekas pencuci-cuci.
Ibu Hanafi melihatkan perangai menantunya yang tidak sadarkan diri itu dengan amat belas kasihan.
”Rapiah, Rapiah!” katanya. ”Sekiranya Hanafi bukan anak kandungku, tentu kunasihati engkau, lebih baik kau minta talak tiga saja daripada menghilang-hilangkan pikiran karena merindukannya. Insyaflah .... ke manakah air santan itu engkau perah?”
Dengan terkejut Rapiah melihat perbuatannya itu. Seketika itu tapisan santan pun sudah ditahankannya di atas belanga yang sudah berisi daging yang hendak di masak. Tetapi dengan tidak dapat ditahan-tahankannya lagi, menghilir dan berderai-derailah air matanya jatuh ke tanah.
”Akan batal puasamu, jika hatimu engkau perturutkan, Rapiah! Sudahlah......apalah yang engkau tangiskan? Sudah sebulan ia di jalan, sebentar lagi tentu ia kembali pulang.”
”Bukan saja perceraian ini yang aku rusuhkan, Ibu,” sahut Rapiah dengan sesak napas dan menghisak-hisak. ”Entah apalah sebabnya, tetapi dalam seminggu ini hatiku sudah tak senang-senang lagi. Entah alamat apa yang sudah datang pada diriku, aku tak dapat mengatakannya, tetapi perasaanku sudah lain. Kata orang, kita tidak boleh percaya akan takhayul, tapi banyak pula orang berkata, jika sanggul rambut terlepas sedang makan, alamat suami hendak direbut orang. Benarkah demikian, Bu?”
”Uah! Semata-mata takhayul! Jika kita mesti memberi arti kepada segala pertandaan yang menjadi kepercayaan orang dahulu, niscaya kita tak kan dapat bersenang hati, karena sepanjang hari ada sajalah pertandaan yang timbul. Perkara sanggul terlepas itu janganlah engkau cemaskan. Sebab engkau merindukan suamimu, segala fiilmu sudah berubah.
Selama ini kau perlukan benar-benar berhias dan bersisir, sanggulmu selesai saja dari pagi sampai malam. Tapi di masa-masa yang akhir ini rupanya kau haramkan benar cermin dan sisir itu. Bersisir dan berminyaklah, pasang sanggul rambutmu secara mestinya, tentu rambut tak akan memberi tanda-tanda buruk lagi kepadamu, Rapiah.”

Sumber: Kasanah Umi, S.Pd., Bahasa dan Satra Indonesia, penerbit Graha Pustaka, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar